Thursday, October 4, 2007

Tuesday, October 2, 2007

Di Manakah Kita Bisa Kembali Menemukan Illuminasi? Menafsir Iman Lewat Puisi

Oleh: Sulaiman Djaya
(Penggagas dan Pendiri Seri Publikasi Padepokan Si Kumbang Hutan)

Pendahuluan
Theo – Diri: Atau Tentang Iman Dalam Persfektif Individual

Tulisan ini adalah ikhtiar subjektif. Tentang iman dan teologi. Tentang apa yang berada di antara keduanya. Yang mungkin menjadi sesuatu yang di tengah. Tentang suatu ikhtiar untuk berbicara sebagai seorang amatir dan non-akademik. Tentang renungan orang biasa yang ingin berbicara tentang sesuatu yang bisa dikatakan luar biasa. Tentang seseorang yang ingin mencari landasan kepercayaannya secara individual. Sebentuk sikap eksentrik. Dan karena itu seseorang tersebut memiliki hak untuk menuliskan apa yang dipercayainya. Dan mempercayainya –meski secara individual dan personal- apa yang ditulisnya tersebut. Sebab pengetahuan dan kreativitas dalam penulisan akan ditemukan dalam kebebasan dan kemerdekaan individual dan personal. Apapun motivasi dan kepentingannya. Entah hanya sekedar untuk menghibur diri. Atau berusaha memberikan dan menyumbangkan gagasan alternatif terhadap gagasan dan analisis objektif yang saya sebut sebagai dogmatisme sains.

Sejauh berbicara tentang teologi, sesungguhnya mungkin tak lebih berbicara tentang tafsir. Tetapi kemudian tafsir itu justru menjadi lebih serius ketimbang teologi itu sendiri. Pada moment ini tafsir atas teologi menjadi teologi itu sendiri. Dan pada konteks ini pula apa yang disebut teologi sesungguhnya adalah ilusi. Sebab ketika teologi telah menjadi tafsir, maka yang ada adalah sains atau positivisme atas teologi. Bila kita ibaratkan teologi sebagai pribadi atau pun individu, maka ikhtiar atau pun upaya penafsiran atasnya tak lebih sebagai penamaan. Seperti halnya memberi nama pada anak yang baru lahir.

Dari itu debat tentang teologi mungkin tidak lebih sebuah polemik tafsir atas atau tentang tafsir itu sendiri. Yang pada akhirnya akan menghasilkan kosakata baru tentang teologi. Karena itu mungkin perkembangan teologi adalah perkembangan dari penemuan yang terus-menerus dari kosakata bahasa tersebut untuk terus-menerus menafsir teologi atau pun teks kitab suci. Meski hal tersebut mungkin akan terjebak pada tekstualisme dan verbalisme dalam bentuknya yang liyan. Pada konteks ini penafsiran teologi adalah ikhtiar penemuan bahasa baru untuk mencari relevansi kontekstualnya. Ini adalah suatu keniscayaan ketika perdebatan atau pun penafsiran tentang teologi belum bisa beranjak atau keluar dari teks yang tertulis dalam kitab suci. Dan selama perdebatan tersebut masih berkutat pada teks yang tertulis, maka tafsir atas teologi rentan terjebak pada ikhtiar politisasi-teks yang didasarkan pada kepentingan dan kondisi eksistensial si penafsir. Entah dalam bentuknya yang sosiologis atau pun yang politis.

Sementara itu kenyataan yang tak mungkin diingkari orang-orang yang menjadikan doktrin agama sebagai pandangan hidupnya adalah situasi epistemik jaman modern yang memaklumatkan persamaan sekaligus pluralitas sebagai keniscayaan jaman modern. Dan maklumat persamaan dan pluralitas ini diserap dan diterima menjadi dasar hukum dan institusi dunia sekuler. Di satu sisi dunia sekuler saat ini menerima manusia dalam dimensi kesamaannya untuk mendapatkan perlakuan hukum dan politik yang sama. Sementara di sisi lain, perbedaan budaya dan pandangan religiusnya seyogyanya tidak melahirkan ancaman dan kekerasan bagi budaya dan pandangan religius yang lain. Dari itulah mungkin dogmatisme mestinya dapat dibedakan dari fundamentalisme. Sebab tiap doktrin agama menuntut kepercayaan dogmatis dari para penganutnya. Pada moment ini dogmatisme menjelma fundamentalisme ketika para penganut pandangan religius dan budaya yang berbeda abai dengan situasi epistemik jaman modern tersebut.

Agama sebagai kepercayaan yang diterima secara personal dalam pandanganku sendiri selalu bersifat individual. Sementara penerimaan sosialnya mewujud dalam institusi dan hukum yang dianut masyarakat. Dan saya memahami kitab suci atau doktrin teologis lebih sebagai visi yang dihasilkan dari upaya pencarian manusia itu sendiri untuk memahami hidupnya dan mencari dasar bagi kondisi eksistensialnya. Sebagai visi ia berusaha mengatasi atau melampaui sejarah untuk mencari pendasaran ke masa depan. Sementara sebagai tafsir atas kondisi eksistensial manusia, agama merupakan tafsir sekaligus pembenaran bagi pengalamannya bersama sejarah. Pada konteks ini saya menyebut agama sebagai ikhtiar manusia untuk mencari alasan atau pembenaran bersama sejarah sekaligus pencariannya untuk melampaui sejarah dan mencari pendasaran untuk hidup di masa yang akan datang. Dengan visi tersebut, kepercayaan yang lahir dan berasal dari pandangan religius mampu membangun peradaban. Yang mana visi tersebut bercampur dengan muatan eskatologis, messianisme. Terutama dalam agama-agama Semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam). Pada moment inilah kepercayaan yang lahir dari doktrin religius kemudian menjadi sebentuk horizon dan pandangan yang sifatnya personal sekaligus sosial. Agama memiliki dua wajah. Yang subjektif (private) dan yang politis (komunal).

Sebagai wajah subjektif, agama merupakan sebentuk komitmen pribadi dengan segala citarasa personal dan individual si penganut. Sementara sebagai wajah politis, agama menuntut kepatuhan kolektif atau komunal. Karena pada dimensi yang kedua, agama telah menjadi institusi kode etik masyarakat. Dan ketika terjadi perbedaan penafsiran, maka terciptalah kesenjangan dan ketegangan. Akan tetapi pandangan agama yang sifatnya komunal tersebut tidak lepas dari aktor berpengaruh yang mampu menanamkan pandangan personalnya kepada masyarakat. Yang kemudian mampu memaksakannya menjadi aturan institusi dan kode etik bersama dalam suatu masyarakat. Inilah yang lazim kita sebut sebagai otoritas. Sebab kata otoritas itu sendiri berasal dari author (sang pengarang atau sang penulis) yang telah mendapatkan penerimaan publik. Pada konteks inilah siapa pun yang berhasil mempengaruhi dan mendapatkan penerimaan publik seputar tafsirnya tentang pandangan religius maka bisa diklaim sebagai yang otoritatif. Dan kata otoritas memang pada dirinya sendiri mengandung kekerasan. Sebab pandangan dan tafsir religius yang awalnya adalah sebentuk pandangan pribadi dan individual sang pengarang (author) yang kemudian diterima dengan resiko dan konsekuensi menyingkirkan pandangan dari author atau pengarang yang lain yang tidak mendapatkan penerimaan publik. Sang pengarang yang kalah ini pada akhirnya menjadikan pandangan religiusnya sebagai sikap kritik atas pandangan religius yang umum dan menempati relung sunyinya yang individual seperti halnya Al Hallaj dan Kierkegaard.

Tetapi seseorang yang menjadikan pandangan religius sebagai pilihan sunyi akan terhindar dari hipokritas-politis. Dan pandangan religiusnya kemudian menjadi sebentuk kesalehan dan kepekaan pribadi yang mampu menjadi sumber inspirasi dan permenungan. Pandangan religius tersebut kemudian menjadi paradigma puitis sebagai horison pencapaian teodisi yang mendalam. Terkadang orang-orang seperti ini menolak institusionalisasi pandangan religius karena pandangan religius yang terlembaga rentan pada intoleransi atas pandangan religius yang unik dan yang sifatnya subjektif dan personal.


Tentang Teologi Dan Yang Lainnya

Setiap perbincangan tentang teologi pada akhirnya akan menjadi teologi itu sendiri. Bila teologi dipahami sebagai apapun yang menyangkut kepercayaan, maka segala yang membuat orang percaya dan mengimaninya dapat dikatakan sebagai teologi. Bila teologi dipahami sebagai apapun yang memiliki muatan teodisi dan eskatologi, maka puisi bisa dikatakan sebagai teologi yang berbicara tentang kehidupan manusia dan segala kemungkinan keadaan eksistensialnya. Pun pada akhirnya dalam konteks ini setiap pemaknaan dan penafsirannya akan banyak ditentukan oleh keinginan dan kebutuhan manusia itu sendiri. Pada titik ini teologi dipahami sebagai simbolisasi dan bahasa yang bunyi dan tafsirnya diwarnai oleh heterogenitas makna eksistensi manusia itu sendiri. Dalam hal ini mungkin teologi adalah ilusi yang tanpanya manusia tak bisa hidup seperti yang dikatakan Nietzsche. Sementara itu pada konteks yang subjektif, teologi adalah sebentuk aspirasi seperti halnya Kierkegaard yang memilih iman sebagai pandangan hidup yang sifatnya individual dan personal.

Sementara itu eskatologi adalah sebentuk kepercayaan pada ketiadaan, ketakterdugaan, dan ketakteramalan yang membuat manusia berharap dan memiliki harapan sehingga tidak dikalahkan pengalaman eksistensialnya yang negatif seperti penderitaan. Dalam konteks inilah iman hidup dan bertempat. Karena eskatologi selalu berbicara tentang masa depan dan yang akan datang. Sesuatu yang tak tampak. Sesuatu yang tak hadir. Sebentuk messianisme dan pengharapan yang tak berkesudahan yang membuat manusia merasa memiliki alasan untuk menjalani hidup dan tidak dikalahkan rasa putus-asa. Maka seringkali yang menjadi daya tarik teologi adalah muatan eskatologisnya disebabkan rujukannya pada ketiadaan dan harapan tentang yang akan datang. Dalam tradisi Semitik, eskatologi ini biasanya berbicara tentang nubuat dan hari akhir.

Eskatologi adalah iman yang selalu menunggu dalam moment menunggu yang membuat manusia mampu berharap dan tidak putus-asa. Eskatologi adalah iman yang merawat dan memelihara manusia dari thanatos. Yang membuat manusia mampu bertahan. Eskatologi adalah janji dan ilusi yang justru memberikan “ruang antara” bagi eksistensi dan hidup manusia. Eskatologi adalah suara tengah di antara passivitas dan aktivitas. Di antara identitas dan non-identitas. Sekaligus bukan kata atau konsep. Bukan aktif atau pasif. Bukan pula pemikiran atau citra. Eskatologi adalah oposisi seperti halnya teologi itu sendiri yang berada di antara langit dan bumi. Di antara yang sakral dan yang profane. Tak memiliki tempat yang ajeg dan tetap. Senantiasa menunggu. Senantiasa menjadi peziarah dan orang asing.

Teologi dan eskatologi adalah sesuatu yang tak pernah tergenapi. Sesuatu tentang yang akan datang. Sementara teodisi dan puisi adalah wadah eksistensial heterogen yang merujuk pada singularitas dan kontradiksi jantung eksistensi manusia itu sendiri. Maka teologi dan eskatologi adalah sebentuk penguatan dan penegasan hidup manusia itu sendiri dalam keberhadapannya dengan ajal atau ketiadaan yang tak teramalkan. Teologi dan eskatologi adalah visi. Bukan positivisme. Ia menyejarah sekaligus melampaui sejarah. Ia adalah oposisi di antara dua kekuatan. Di antara dua tempat. Di antara dua wajah. Di antara surga dan neraka.

Bila teologi adalah sebentuk illuminasi dan teodisi, maka yang menjadi pertanyaan adalah sejauh manakah seseorang mampu menyelami arti illuminasi dan teodisi tersebut. Sehingga antara ilmu pengetahuan dan pewahyuan dapat saling melengkapi dan saling mengkritik satu sama lainnya. Pada konteks inilah menurut saya tidak penting seseorang menjadi religius atau pun sekuler. Akan tetapi sejauh manakah seseorang tidak terjebak pada politik tekstual sehingga menambah kontaminasi pada semangat teodisi dari iman. Sebab upaya memoralisasikan agama sekalipun pada akhirnya akan terjebak pada ikhtiar pelegitimasian moral sebagai upaya keagamaan yang malah akan mewariskan kubangan spiral yang tak pernah selesai dan terjebak pada dogmatisme yang lain. Sebentuk tekstualisme dan verbalisme dalam bentuknya yang baru yang mungkin tidak disadari.


Di Mana Penyair Menulis: Tentang Iman dan Puisi

Apa yang tak dapat dinarasikan dan dideskripsikan kemudian diambil alih oleh puisi. Itu bukan berarti puisi kelewat angkuh untuk menggunakan tuturan biasa. Ia mungkin hanya ingin mengatakan sesuatu yang terlampau panjang tapi pada saat yang sama juga teramat singkat –dalam artian bila ia mengatakannnya secara naratif dan sistematik akan terjatuh untuk mengatakan sesuatu yang pada awalnya tak mampu ia katakan, dan ketika dikatakan tak mampu mengungkapkan apa yang hendak dimaksudkannya.

Puisi memang kontradiksi. Pertentangan. Memiliki dua wajah. Ia ingin mengatakan tentang banyak hal tapi pada saat yang sama juga mendapatkan dirinya pada keterbatasan untuk mengatakannya secara biasa. Ia ingin mengatakan banyak hal dengan cara singkat. Dengan mengatakan sebagiannya saja. Yang mungkin dengan yang sebagian itu, sebagian yang lain biarlah dicari dan dikatakan oleh orang lain.

Bila ada dua pertentangan yang tidak bertemu, maka yang ketiga adalah puisi –atau juga interupsi pada apa yang kita percayai dan yakini sebagai iman.

Dengan itu pulalah saya ingin berbicara tentang iman. Tentang kerentanan saya sendiri pada ketakmungkinan untuk mengatakannya. Atau bila saya mengatakannya mungkin saya tak lebih melakukan kebohongan. Sebab iman atau pun semangat religius pada dasarnya adalah pencarian dan investigasi itu sendiri. Sesuatu yang interuptif. Menyela. Sebentuk kehendak untuk tertawa. Seperti hal-nya tawa Sarah ketika Tuhan mengabarkan padanya bahwa ia akan mengandung Ishak di saat usianya yang renta –dan menurutnya ia tak mungkin bisa mengandung. Atau seperti “keheranan” Zakariya setelah Jibril mengabarkan padanya bahwa istrinya yang renta akan mengandung anaknya yang bernama Yahya. Dan mungkin kebisuan Zakariya itu sendiri adalah sebentuk “keheranan”. Sebentuk ketakmampuan untuk mengatakan sesuatu yang akan datang –sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Ketakmampuan untuk menerka sesuatu yang tidak terduga. Yang asing. Hantu! Seperti dikisahkan kitab suci, Zakariya menjadi bisu karena ia “tidak beriman” dengan pengabaran Tuhan itu.

Puisi dan iman memang sebentuk “keheranan”. Sebentuk tawa. Tapi justru dengan itu manusia sadar dengan kefanaannya sendiri. Dengan kerentanannya sendiri. Tapi pada saat yang sama iman dan puisi adalah ziarah. Seperti perintah Tuhan kepada Ibrahim untuk pergi dari tanah Ur dan menengok tetangganya di negeri Hinani. Suatu anjuran untuk menjadi pembelajar, pengunjung, dan orang asing. Sebagai orang yang tidak tahu. Karena itu senantiasa membaca. Mempertanyakan. Menyela. Menertawakan.

Karena itu iman dan puisi adalah sebentuk perjumpaan yang tak berkesudahan dengan kefanaan. Terus-menerus menjadi heran dan tertawa. Karena itu seorang penyair menulis dari ketiadaan. Dari tawa!


Bab Pertama
Di Manakah Kita Bisa Kembali Menemukan Illuminasi?

“Orang-orang yang beriman dan tidak beriman sama-sama bermandi darah” (Fariduddin Attar).[1]

Apa yang dilontarkan Attar tersebut tentu tidaklah lahir dari kekosongan atau ketiadaan persfektif. Attar tengah berbicara tentang kerentanan dan ketakmungkinan ikhtiar manusia untuk sampai pada kebenaran hakikat. Kemudian Attar melanjutkan: “apa yang akan kukatakan selanjutnya, karena tak ada lagi yang mesti kukatakan, dan tak ada pula setangkai mawar pun yang tinggal dalam semak”.[2] Apa yang memang tidak dapat dikatakan dengan narasi dan deskripsi kemudian diambil alih oleh puisi. Attar memang seorang penyair, mistikus sekaligus pemikir yang juga dikagumi Jalaluddin Rumi. Seperti halnya Al Hallaj, Ibn Araby, dan Hafiz ia berikhtiar untuk menemukan illuminasi dalam keterlibatan dan pergulatannya dengan realitas kefanaan. Dengan kerendahan hatinya Attar meneruskan: “betapa aku, si dungu, akankah sampai pada hakikat, dan kalau pun dapat, bagaimana aku akan bisa masuk lewat pintu itu?”.[3] Pada konteks ini Attar sesungguhnya tengah mengkritik kaum Fuqaha yang terlampau verbal dan literer dalam memahami agama dan semangat doktrin. Begitu juga kaum Kalamiyun (Teolog) yang mempercayai logika. Lalu terjebak dalam lingkaran bahasa dan tafsir. Kemudian menjadikan simpulan bahasa dan logika sebagai realitas kebenaran. Dengan tegas dan lantang Attar berkata: “tak seorang pun yang sungguh tahu hakikat....tanyakan pada siapa saja sesukamu”.[4] Ia menantang mereka yang kelewat mudah mematok suatu batas kebenaran. Lalu ia melanjutkan sebagai tilikan kepada subjektivitasnya sendiri yang juga rentan pada kesalahan dan ketakmungkinan untuk menemukan kebenaran suatu doktrin, suatu makna teks: “kalau demikian, apalah artinya aku ini, yang beranggapan bahwa aku mengenal Tuhan”.[5]

Menurutku memang kemudian mungkin menjadi tidak relevan sejauh mana “makna” dalam suatu teks kitab suci bisa ditemukan. Sebab muatan dan pemaknaan dari bahasa itu sendiri rentan pada kontaminasi historis.

Atau mungkin yang diperlukan adalah “kepekaan” pada takdir dan eksistensi manusia itu sendiri dalam kefanaannya. Sehingga “beriman” atau “tidak beriman” kehilangan relevansinya ketika dikotomi hirarki oposisi-biner tersebut hanya menjadi sekadar isu untuk membenarkan “klaim kekafiran” terhadap keberlainan (the other).

Pada konteks inilah mungkin kita bisa lebih banyak belajar dari para pemikir-penyair mistik seperti Attar, Rumi, Hafiz, atau Ibnu Araby. Dan bisa mengerti banyak tentang tanggungjawab pada sesama dari Derrida dan Levinas.

Tanggungjawab Religius Di Hadapan Alteritas [6]

Sejauh menyangkut agama –menurut Derrida, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dapat diidentifikasi atau pun yang identik dengan dirinya sendiri untuk apa yang disebut “agama”. Secara historis “agama” merupakan ciptaan Romawi kuno yang kemudian diapropriasi oleh kristianitas. Dalam hal ini menurut Cicero, kata “religio” berasal dari “relegere”, suatu modifikasi atas kata kerja Latin: “legere” –yang berarti mengumpulkan dan memanen. Selanjutnya Tertulianus yang merupakan seorang muallaf Kristen dari Afrika Utara pada abad kedua kemudian mengemukakan hal yang berbeda. Menurutnya kata “religio” berasal dari “religare” yang berarti mengikat atau simbolisasi ikatan kewajiban atau hutang “primordial” antara manusia dengan Allah. Dalam artian yang kedua inilah menurut Derrida kata “religio” telah menginjeksikan isu-isu yuridis dan mengikat agama kepada lingkaran hukum. Yang secara inheren mengandung kekerasan (intoleran) dan cenderung menolak keterbukaan terhadap keberlainan (alteritas). Sebab ia akan menyingkirkan apa yang tidak masuk dalam “ikatan” tersebut. Karena menurutnya kata depan “re” menyimbolkan suatu pengulangan dan acuan kepada diri sendiri. Suatu penolakan terhadap pemisahan. Pada moment inilah agama mengandaikan ketertutupan.

Penolakan akan pemisahan yang ditunjukkan oleh prefiks “re” dalam kata “religio” menurut Derrida muncul dengan suatu cara yang paralel di dalam “responsibilitas” dan “respons” yang berasal dari kata kerja Latin: spondeo –yang artinya menjamin. Dan arti ini memiliki kedekatan dan kemiripan dengan kata “religare” (mengikat) yang dikemukakan Tertulianus. Sebab “respondeo” atau “responsum” berarti penerjemah para dewa yang memberikan suatu janji sebagai balasan atas “persembahan”. Dan balasan yang diinginkan dari persembahan itu tak lain adalah jaminan keamanan.

Karena itulah menurut Derrida kata responsibility berbagi arti dengan religio dalam kepedulian terhadap transaksi ekonomis: suatu imbalan dan jaminan keamanan yang dituntut dari persembahan (sesajen). Dalam hal ini menurut Derrida, jaminan yuridis dan ekonomis tersebut tidak memasukkan inti tanggungjawab di hadapan alteritas (keberlainan) . Di hadapan yang tak dapat dikalkulasikan. Di hadapan orang asing (kafir) dan yang datang tak terduga. Di hadapan orang yang bukan bagian dari komunitas agama tertentu.

Asal-usul tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi pemahaman religius terhadap toleransi dan kekafiran. Pada konteks inilah tanggungjawab etis-politis filsafat adalah menganalisis dan menarik konsekuensi- konsekuensi praktis dan efektif antara warisan filosofis dan struktur sistem yuridis-politis.


Tentang Iman dan Tanggungjawab Pada Kefanaan

Untuk menghabisi banyak bangsa, dengan demikian engkau telah berdosa pada dirimu sendiri (Habakuk 2:10).

Karena aku menempatkan diri di lapangan kejahatan, dan nasibku berada di kalangan orang-orang yang buruk nasibnya,

Maka aku berdiri di tanah terbatas, dan tahu masih ada harapan, karena yang Kau ciptakan dari debu akan bergaul dengan keabadian (The Dead Sea Scroll).

Bila sejarah tidak hanya dipahami sebagai masa lalu dan masa kini tetapi juga tentang masa depan, maka eskatologi juga bisa dipahami sebagai wawasan sejarah. Sebagai visi. Bukan positivisme. Begitu juga sebaliknya, pada konteks ini sejarah menjadi eskatologi. Sebentuk kepercayaan pada kemungkinan- kemungkinan di masa depan. Pada yang tak terduga.

Pada moment ini sejarah mestilah dipahami sebagai sebuah perjalanan yang berada di seberang dirinya sendiri yang tidak imanen. Bukan sebagai sesuatu yang dapat dikalkulasi. Tetapi lebih berbicara tentang harapan. Merujuk pada kemungkinan dan masa depan untuk melampaui kekinian. Sebentuk kreativitas untuk mengatasi kejumudan. Sebentuk waktu yang berziarah. Sejenis eskatologi yang tak memiliki muara. Suatu ikhtiar untuk memaknai hidup bukan sebagai pemberian, tetapi lebih sebagai anugerah yang harus diperjuangkan ke depan. Sebentuk tanggungjawab dan komitmen pada yang fana.

Dengan demikian tanggungjawab religius pada alteritas adalah sebentuk pengalaman ditinggalkan Tuhan. Tapi justru dengan itulah manusia senantiasa menanggung kerinduan yang tak pernah mendapatkan perjumpaan. Dan ketika ia tak pernah menjumpa dan mendapatkan kehadiran Tuhan, maka ia pun mencari muaranya pada sesama dalam wujud tanggungjawab. Dan karena itulah manusia memanifestasikan kerinduannya dengan jalan berkarya untuk menemukan citra Tuhan dalam dan bagi dirinya.

Ia tak lagi mempersoalkan ada dan tidak adanya Tuhan. Ia hanya merasa memiliki kewajiban untuk mewujudkan kerinduannya menjadi sebentuk komitmen dan tanggungjawab pada yang fana dan kefanaan.

Ikhtiarnya untuk mendapatkan surga justru harus ditebus dengan kerja dan karya. Bukan dengan kegandrungan untuk mendakwahkan kekafiran dan membenarkan pembunuhan atas nama iman. Pada konteks ini tanggungjawab religius di hadapan alteritas (keberlainan) adalah seperti Musa yang melepaskan kasutnya atau sandalnya (identitas politisnya) ketika menghadap Tuhan. Ia harus datang sebagai pribadi. Tapi sekaligus juga sebagai orang asing di hadapan Tuhan. Sebagai keberlainan itu sendiri.

Manusia tak pernah tahu apa yang diinginkan Tuhan dari dan kepadanya. Ia hanya mampu menduga-duga. Seperti halnya puisi yang melakukan interupsi dan investigasi. Karena itulah ia menjadi kreatif. Yang bersumber dari kepercayaan pada eskatologi yang tak pernah tergenapi. Dan ketika sadar akan ketakmungkinan untuk menggenapi itu, manusia senantiasa mengembangkan dirinya ke arah citra Tuhan yang dirindukannya. Ketakmungkinannya kemudian berubah menjadi sebentuk ikhtiar mencari kemungkinan- kemungkinan yang dapat memberikan kemuliaan pada kefanaannya. Menjadi karya dan kerja yang berguna untuk sesamanya.


Bab Kedua
Tentang Iman dan Persoalan Tafsir [7]

O Lord, increase my perplexity concerning Thee (Ibn Araby)

O! Kearifan! Engkau tidak lebih dari anak susuan, akal budi orang-orang tua dan berpengalaman sekalipun sesat dalam pencaharian ini (Fariduddin Attar)[8]

Ikhtiar manusia untuk mengetahui hakikat adalah sebentuk ironi menara Babel. Pendirian dan pembangunan menara Babel yang hendak menyentuh langit (surga) adalah metafor dari keangkuhan manusia itu sendiri yang hendak mencari bahasa universal dan kebenaran hakikat. Sekaligus sebentuk allegori dari ketakmungkinan tersebut.

Kehendak untuk mengetahui bahasa dan maksud Tuhan itu sendiri pada akhirnya akan bermuara pada kebingungan. Sebagaimana kebingungan Ibn Araby dan Fariduddin Attar yang sadar pada kerentanan subjektivitasnya untuk mengetahui misteri dan hakikat Tuhan dan perbuatannya.

Ketika Tuhan menghancurkan menara Babel sesungguhnya Tuhan telah melakukan detotalisasi atau dekonstruksi. Dan hasil dari detotalisasi (penghancuran totalitas) itu tak lain adalah kebingungan. Kehendak manusia untuk melakukan homogenisasi adalah tindak kekerasan terhadap keberlainan.

Kebingungan dan keheranan itu mendapatkan konteksnya pada soal kemungkinan sekaligus ketakmungkinan untuk menafsir atau menemukan hakikat. Karena kata Babel berarti kebingungan itu sendiri. Penghancuran menara Babel adalah sebentuk disseminasi (suatu ikhtiar untuk melampaui makna). Sejenis dosa.

Lalu di mana seorang pemikir atau penyair? Wittgenstein berujar: the philosopher goes wild, screaming helplessly, until he gets to the heart of his confusion. Begitu juga ‘Ayn al Qudat Hamadani bermuram: my heart was tumultuous a sea with no shores, in it was drowned all the ends and all the beginnings. Tuhan itu sendiri adalah sebuah kebingungan. Dia adalah Sang Penunjuk (al Haadi) sekaligus Sang Penyesat (al Mudhillu). Seperti halnya kebingungan Nuh yang merindu daratan dan kesudahan malapetaka bah-Nya.

Kebingungan adalah differance sekaligus disseminasi. Dan disseminasi tak lain: endlessly opens up a snag (accroc) in writing that can no longer be mended. Ibnu Araby pun berkeluh: how every group has believed something about God, what he means is that every group has tied a certain knot about God? Lalu ia menawarkan paradigma plural: God is the root of every diversity in beliefs within the cosmos.

Moment penghancuran menara Babel adalah moment penemuan paradigma dan persfektif yang majemuk (plural). Moment fragmentasi. Moment puisi. Tapi pada saat yang sama juga adalah penolakan pada otoritas. Pada author (pengarang). Sebentuk moment Jeremiah. Sejenis diaspora. Pengalaman exile atau exodus. Ketakmungkinan untuk menggenapi. Ketakberdayaan untuk menemukan tafsir tunggal atas teks atau doktrin. Karena Tuhan itu sendiri adalah keganjilan dan keanehan (keberlainan) itu sendiri. God who is everywhere and nowhere.

Tuhan sendirilah yang menolak dan menghancurkan kesombongan manusia untuk menemukan tafsir tunggal. Sebab Tuhan sendirilah sang penghancur menara Babel. Dan para pendiri menara itu pun kebingungan. Dan ketika itu pula Tuhan mendekonstruksi dan mendisseminasi dirinya sendiri.

Dan karena itulah dalam tradisi Semitik ada larangan menyuarakan dan menyebutkan nama Tuhan. Dan di bukit Tursina itu pun Tuhan berkata pada Musa: Aku adalah Aku. Atau Dia Yang Bernama (Elohim). Sebentuk penegasan identitas tapi di saat yang sama juga penegasan non-identitas. Dan ketika itu pula Musa ditegur: Dan sebelum engkau menghadapku, tanggalkan kasutmu (sandalmu: identitas politismu). Fahla’ Na’layk!

Juga ketika Tuhan menampakkan dirinya dalam wajah api, pada saat itu juga Tuhan memperkenalkan kesakralan dan keabadian wahyu dan dirinya. Kata-kata dan bahasa adalah api yang abadi. Dan sekali-kali engkau tak akan menemukan arti. Dan semakin sering engkau menyebut namaKu dengan mulutmu sendiri (identitas dan klaim politismu) untuk kepentingan dirimu sendiri, maka semakin sering pula engkau melanggar dan menghancurkan kesakralanKu. Maka cukuplah namaKu ada di hatimu.

Begitulah pada akhirnya, kebingungan bermuara pada keheranan dan tawa. Pada konteks inilah mungkin menurutku orang-orang yang sering meneriakkan nama (simbol) Tuhan dengan lantang adalah orang-orang sekuler dalam pengertian genealogisnya.


Bab Ketiga
Kierkegaard, Metafor, Peristiwa: Atau Tentang Batas – Batas Penafsiran

Dengan Kierkegaard saya ingin berbicara tentang “Komunikasi Tak Langsung”. Dalam pembacaan saya dengan komunikasi tak langsung ini Kierkegaard mengijinkan tulisannya menjadi subjek tersendiri. Yang kemudian menjadi teman dialog dengan pengarang itu sendiri. Seperti yang diutarakan Kierkegaard:

“....dalam karya-karya bernama samaran itu tak ada satu kata pun yang merupakan kataku. Aku tidak mempunyai pendapat tentang karya kecuali sebagai orang ketiga, tidak mengetahui artinya kecuali sebagai pembaca, tak ada hubungan pribadi yang paling jauh sekalipun dengan karya-karya itu.[9]

Yang saya maksud di sini adalah Kierkegaard menggunakan gaya dan bentuk surat cinta. Yang sebenarnya tulisannya tidak dimaksudkan untuk seseorang tertentu. Hanya saja dengan ini pembaca kemudian menjadi terlibat dan bergulat langsung. Lazimnya setiap surat cinta akan selalu memungkinkan pembacanya lebih istimewa dari penulisnya sendiri.

Komunikasi tak langsung inilah yang menjadi salah satu alasan Kierkegaard menggandrungi nama-nama samaran. Tulisan yang ditulis dengan nama samaran itu pun kemudian dikutip pada tulisan berikutnya dengan nama samaran yang lain. Kierkegaard telah mebebaskan tulisan-tulisannya (anak-anaknya) tersebut dari “the father” (pengarang) dan menjadi teman-teman dialog bagi Kierkegaard sendiri. Ia telah memberikan otonomi pada tulisannya.

Komunikasi tak lansung yang dimaksud Kierkegaard sendiri merujuk pada kitab suci yaitu Yesus dan filsuf Yunani, Sokrates. Komunikasi tak langsung berarti juga ada yang tidak bisa dikomunikasikan dengan bahasa biasa, konsep, atau metafor. Konsep itu sendiri adalah metafor. Dan metafor itu sendiri adalah konsep. Dan metafor itu sendiri malah akan semakin mengaburkan apa yang ingin dipinjamkan sebagai makna. Sebagaimana konsep mereduksinya dalam simplisitas, koherensi, dan universalisasi.

Laku Kierkegaard memperlakukan konsep-konsep objektif secara regressif yang tidak lain adalah sifat swadestruktif bahasa untuk menyibakkan kemiskinan bahasa hanyalah untuk menjelaskan ironi dan paradoks yang melekat pada subjek. Derrida menyebutnya sebagai aporia. Klaim objektivitas dan universalitas tidak lebih dari laku pengingkaran ironi dan paradoks tersebut.

Dalam kesusasteraan Timur saya teringat Fariduddin Attar: O! Engkau yang menghargai kebenaran, janganlah mencari kias.[10] Dan: O! Kearifan! Engkau tak lebih dari anak susuan, akal budi orang-orang tua dan berpengalaman sekalipun sesat dalam pencaharian ini.[11] Dan Ibnu Araby: O, Lord, Increase my perplexity concerning Thee.[12] Baik metafor atau pun konsep sama-sama reduktif. Cerminan langsung dari upaya yang gagal untuk mengatasi kemiskinan bahasa.

Lebih lanjut menurut Kierkegaard, baik Yesus atau pun Sokrates menginvestigasi setiap orang secara personal. Melucuti segala sesuatu dari orang tersebut. Dan menyuruhnya pergi dengan tangan kosong tanpa ada satu pun kebenaran yang dimilikinya kecuali kebenaran subjektif yang disebutnya sebagai kebenaran eksistensial. Kebenaran jenis ini menurutnya tidak dapat dikomunikasikan. Dengan menyadari ini Sokrates mengemukakan diktumnya yang terkenal: aku tidak tahu apa-apa! Dan ketidak tahuan ini jauh lebih banyak dari yang diketahui.

Menurut Kierkegaard apa yang diajarkan Sokrates dan Yesus tidak memiliki isi objektif dan menjadi kondisi negatif yang menjadi jalan untuk belajar tentang individu itu sendiri. Metode seperti ini dengan sendirinya akan mengguncang keseimbangan. Dan di tangan Derrida metode ini beralih nama menjadi dekonstruksi.

Semangat ini saya temukan juga pada pemikiran Nietzsche: ....man has for long ages believed in the concept and name of things as in the aeternae veritates he has appropriated to himself....he really thought that in language he possesed knowledge of the world.[13] Bahwa tafsir atas peristiwa, fakta, atau bahkan teks, jika saya menggabungkan fakta dan peristiwa atau keseluruhan kenyataan itu sendiri hanyalah sebuah usaha untuk melakukan metonimi, penamaan, bahkan dogmatisasi.

Tentang hal ini Derrida menyatakan peristiwa sebagai:....another name for experience, which always experience of the other, the event is what does not allow istself to be subsumed under any other concept, not even that being. A ‘there is’ or ‘let there be something rather than nothing’ arises from the experience of the event, rather from thinking of being. The happening of the event is what cannot and should not be prevented: it is another name for the future itself.[14]

Dalam pandangan Derrida jika peristiwa adalah apa yang datang menuju, maka peristiwa tidak dapat direduksikan ke dalam kategori esksistensi. Dengan inilah terjadi kemungkinan tentang apa yang akan datang, differance, tidak dapat diapropriasi, tak dapat diramalkan, dan melampaui antisipasi. Differance berpangkal pada sesuatu yang lain, dalam pengertian alteritas. Pada singularitas yang lain. Pada yang akan datang dan yang tak terduga.[15]

Sementara Kierkegaard memandang eksistensi sebagai kebisuan setelah ketakberdayaan analisis. Kierkegaard sebenarnya tengah mengkritik filsafat Plato yang melulu melakukan konseptualisasi dalam filsafat forma-nya. Bagi Kierkegaard jika hanya apa yang dapat dikonseptualisasika n itu dapat dipikirkan, maka eksistensi tidak dapat dipikirkan. Sebab eksistensi selalu konkret dan tidak pernah abstrak.

Pada akhirnya berbicara tentang pengetahuan dan kebenaran tidak bisa dilepaskan dari subjek dan bahasa. Sebentuk aporia. Tentang ketakberdayaan untuk merengkuh kebenaran. Pada Derrida dan Heidegger hal ini memiliki semangat teologis atau juga religius dengan kentalnya nuansa messianistik: kemasadepanan yang tak teramalkan dan tak dapat diprediksi. Sebagaimana Nietzsche layaknya sang biarawan, yang kemudian memberikan konsekuensi kenabian untuk mengatasi agama. Mengalihkan orientasi dari dunia sana pada dunia sini.

Heidegger dan Foucault misalnya bersikap kritis terhadap gagasan tentang “diri” Cartesian dan “otonomi-agensi” Kantian. Menurut Foucault subjek tereduksi dalam sejumlah fungsi wacana. Dan kebebasan harus dipahami sebagai kekuatan untuk mempertanyakan apa yang nyata-nyatanya terberi begitu saja. Dan untuk menemukan dunia-dunia baru yang sebelumnya tidak ditemukan hanya dapat dilakukan lewat menulis. Subjek harus dibaca sebagai produk tradisi atau pemikiran sebelumnya. Subjek terlempar dalam dunia yang sudah terdefinisi dan terberi.

Jika mau dicermati dengan keprihatinan yang sungguh-sungguh, perbincangan tentang subjek dan bahasa ini mendapatkan tempat yang istimewa dalam eksistensialisme dan filsafat kontemporer. Dalam eksistensialisme pengaminan ke-aku-an begitu kental. Sementara dalam filsafat kontemporer, ke-aku-an dan otentisitas individual ini dicurigai sebagai sumber kekerasan dan otoritarianisme.

Tetapi eksistensialisme telah menyumbangkan suatu wawasan baru dalam pemikiran dan filsafat: kebenaran sangat terkait erat dengan persoalan bahasa dan modus mengada manusia seperti yang ditegaskan Kierkegaard, Nietzsche, dan Heidegger.

Menurut Nietzsche misalnya selama berabad-abad manusia mengira dirinya telah menemukan kebenaran. Padahal yang sesungguhnya adalah mereka hanya berusaha mengatasi bahasa. Mereka mengira telah merengkuh kebenaran. Padahal hanya mengemukakan segugus prasangka yang dikiranya sebagai kebenaran.

Pada Kierkegaard dasar eksistensi atau pengalaman bukan hanya kesadaran. Akan tetapi juga kekaburan. Jika saja kesadaran ada dalam kelangsungan, maka kelangsungan adalah aktualitas itu sendiri. Sementara ujaran atau konsep hanya idealitas tentangnya. Kesadaran adalah oposisi dan kontradiksi. Pada saat seseorang mengekspresikan realitas, oposisi ada di sana. Karena itu kemungkinan keragu-raguan terletak dalam kesadaran. Dan kemungkinan keragu-raguan itu dihasilkan oleh dan menghasilkan duplisitas. Memang ada kepastian dan kelangsungan dalam sensasi. Tetapi kepastian langsung ini akan hilang segera ketika pengalaman diekspresikan dengan bahasa dan pikiran.

Pada titik ini filsafat Kierkegaard koheren dengan filsafat Nietzsche. Bahasa bukanlah realitas. Ada suatu pengalaman yang tidak dapat direngkuh oleh bahasa dan pikiran. Berpikir tentang sesuatu atau membahasakannya (menamainya) adalah memperlawankannya dengan yang lain.

Dalam kesadaran, aktualitas dihadapkan pada apa yang tidak ada (kemungkinan) . Dengan sendirinya kesadaran adalah perbenturan antara aktualitas dan kemungkinan.

Menurut Kierkegaard kata doubt (keraguan) secara etimologis berkaitan dengan doubleness (kerangkapan) . Kesadaran bukanlah bentuk kepastian sebagaimana yang diandaikan Descartes. Melainkan suatu bentuk ketidakpastian. Kesadaran bukanlah mengatasi keragu-raguan. Melainkan suatu bentuk keragu-raguan itu sendiri. Karena dalam kesadaran apa yang ada dipertanyakan.[16]

Kesadaran seperti yang dikemukakan Kierkegaard tersebut merupakan artian Heraklitus: anda tidak mungkin berdiri di sungai yang sama dua kali pada waktu yang sama, yang disebut Sartre sebagai ketidakjujuran. Karena ada sejenis ketakutan dalam kesadaran. Menurut Sartre kesadaran adalah suatu spontanitas tak berpribadi. Kesadaran ditakuti oleh spontanitasnya sendiri.

Dalam eksistensialisme isu kemewaktuan dan kemengadaan dalam dunia begitu kentalnya. Dan pemikiran atau pun pengetahuan sesungguhnya dihidupi oleh bahasa sekaligus oleh kemiskinan bahasa itu sendiri.

Pada Nietzsche kebenaran adalah subjektivitas dan persfektivitas. Muncul dari segugus horison yang berbeda-beda yang jumlahnya bertebaran. Kebenaran hanyalah fungsi mengada dan harus dilihat sebagai hubungan-hubungan. Kebenaran adalah sesuatu yang tanpanya manusia tak bisa hidup. Tak lebih sebagai fungsi pelestarian manusia. Dan mengalami puncaknya pada hasrat untuk berkuasa. Nietzsche sendiri dengan gamblang menyatakan bahwa hasrat yang paling kuat pada manusia bukanlah hasrat untuk hidup dan mengada. Akan tetapi hasrat untuk berkuasa. Sementara kebenaran dan pengetahuan hanya kedok dan fungsi untuk berkuasa.

Tetapi di mata Heidegger baik filsafat modern atau pun eksistensialisme masih menjadikan manusia sebagai pusat untuk berfilsafat. Yang pada akhirnya melahirkan cara pandang teknologis. Dunia ada hanya untuk manusia. Bukan untuk yang lainnya. Dan cara pandang ini pada akhirnya berujung pada kekerasan dan kerusakan lingkungan.

Dan akhirnya kebenaran menurut saya adalah segugus pengalaman yang tidak pernah menemukan rumah dan terminalnya. Terus-menerus hidup dalam fase keberangkatan bagi awal mula yang cepat menjadi lalu. Tidak pernah menemukan moment yang bisa merengkuh seluruh pengalaman atau pun peristiwa. Selamanya ia tetap berserakan. Sebentuk puisi!



Bab Keempat
Tentang Toleransi dan Kesanggrahan: Sumbangan Derrida[17]

Dan Tuhan pun berkata kepada Musa: Dan sebelum engkau menghadapku, tanggalkan kasutmu (identitas-politism u). Karena engkau menginjak tanah suci.

Dan Ibrahim pun berkata kepada tamu-tamunya: Aku ijinkan engkau semua berada di rumahku (wilayahku). Tapi ingat kalau ini adalah rumahku (kekuasaanku) .

Asal-usul toleransi sesungguhnya bersifat keagamaan (religius) yang kemudian diappropriasi politik-sekuler. Pada konteks inilah ikhtiar Derrida diniatkan untuk melampaui semangat keagamaan tersebut sekaligus melampaui penalaran dan argumentasi Kantian tentang toleransi. Membersihkannya dari bubuhan teologiko-politik yang menyebabkan toleransi menyimpang dari semangat yang dimaksudkannya.

Yang pertama menadikan toleransi sebagai laku dan sikap paternalistis. Sementara yang kedua membubuhinya dengan segugus persyaratan. Dengan ini Derrida mengajukan toleransi tanpa-syarat atau kesanggrahan (hostipitality) sebagai penggantinya.
Dengan kesanggrahan atau hak invitasi inilah kita mendapatkan suatu persfektif kritis atas batas-batas hak kosmopolitan dan toleransi. Sejauh menyangkut sumbangan pemikiran Kant, Derrida melihat Kant masih memahami toleransi sebagai kesanggrahan bersyarat.

Menyangkut gugus pertama atau toleransi dalam semangat teologiko-politik, Derrida menganjurkan untuk melakukan ikhtiar pembongkaran pada matriks kristiani yang menyebabkan toleransi menjadi sebuah konsep politik dan etik yang justru malah tidak netral dari semangat yang menjadi klaim toleransi itu sendiri.

Muasal dan fokus keagamaannya malah menjadikan kata dan pengertian toleransi lebih diterima sebagai sisa dari sikap paternalistis. Di mana orang lain tidak diterima secara setara dan sepadan melainkan sebagai bawahan. Kant dalam pandangan Derrida belum bisa keluar dari bubuhan teologiko-politik tersebut ketika memahami toleransi.

Kant memahami toleransi sebagai janji emansipatoris jaman modern yang memiliki muatan retriksi ganda. Pertama, toleransi sebagai sifat netral keagamaan. Akan tetapi di sisi lain di dalamnya terkandung komponen kristiani yang amat kuat. Inilah retriksi yang Kedua sejauh menyangkut toleransi yang dimengerti Kant.

Karena itulah tak jarang sejarah konsep toleransi selalu memihak dan diappropriasi sebagai dalih, alasan, dan argumentasi pihak dan kekuasaan yang lebih kuat. Toleransi dalam sejarahnya terkontaminasi oleh nada bubuhan politik dan kekuasaan yang dalam istilah Derrida disebut sebagai semangat teologiko-politik: aku ijinkan engkau semua berada di rumahku (wilayahku), tetapi engkau harus ingat bahwa ini rumahku (kekuasaanku). Karena itulah toleransi tidak lagi memadai sebagai sebuah sikap dan pandangan terhadap orang asing atau di hadapa alteritas (keberlainan) . Ia mesti diganti dengan sikap keramahtamahan.

Semangat kesanggrahan sendiri menurut Derrida adalah sungkawa (mourning). Keprihatinan terhadap penderitaan orang lain. Yang lainnya dalah suatu penerimaan terhadap orang asing dan yang datang tak terduga. Pada tingkatan messinistik kesanggrahan adalah sebentuk penantian. Sebentuk tunggu melampaui waktu. Kesanggrahan adalah tentang perjumpaan dan senyuman kepada sesama. Penantian dan harapan itu sendiri untuk menerima orang asing. Sebentuk penyampaian undangan yang didasarkan pada ketulusan. Dan kesanggrahan yang paling religius adalah penerima terhadap orang yang tidak pernah kita undang. Atau yang datang tiba-tiba.


Identitas dan Batas-Batas Filsafat

Latar-belakang kultural Derrida telah memberikan suatu kerangka baru untuk menginvestigasi kembali gagasan humanisme dan pencerahan. Sesuai dengan pengalaman mengadanya, identitas muncul bagi Derrida sebagai batas-batas yang tidak stabil, tidak subtil, dan tidak ajeg. Latar-belakang ini pada akhirnya menggarisbawahi tantangan pada perbatasan ragam territori: Eropa dan non-Eropa, dunia pertama dan dunia ketiga, Judaisme dan Kristianitas, Judaisme dan Islam. Dan dalam pandangannya tantangan yang sama sesungguhnya tengah dihadapkan kepada filsafat. Pada titik ini intervensi-politis Derrida seringkali ditujukan sebagai sebuah ikhtiar untuk menemukan cahaya baru atas benua-benua yang tersembunyi. Melampaui konsep negara-kebangsaan. Karena menurutnya negara kebangsaan memiliki fungsi ganda: melindungi warga-negara sekaligus menghancurkannya. Negara melindungi diri sekaligus menghancurkan diri. Pandangannya tersebut tidak lepas dari pengalaman negatif tentang politik dan negara dalam dunia modern yang nyatanya menjadi tragedi pembantaian warga-negara seperti kasus holocaust dan genocide. Dan karena itu tugas filsuf menurutnya adalah senantiasa bersikap kritis untuk menganalisa dan kemudian menarik konsekuensi- konsekuensi praktis antara warisan filsofis dan struktur juridis-politis.


Dekonstruksi dan Pengampunan

Intervensi dekonstruktifnya Derrida adalah suatu ikhtiar untuk membedah setiap diskursus yang tegak sebagai sebuah konstruksi filsafat. Ikhtiar ini sangat berciri individual dan bertujuan menggoncang stabilitas prioritas-prioritas struktural masing-masing konstruksi yang khusus. Dalam telisik-investigati f ini, konstruksi-konstruk si filsafat modern bergantung pada oposisi dan pasangan-pasangan konseptual yang tak tereduksikan seperti spiritual-material, universal-khusus, kekal-temporal, dan lelaki-perempuan. Oposisi-oposisi tersebut dalam pandangan Derrida mendesakkan suatu tatanan hirarkis dan mengucilkan serta menyingkirkan apa atau sesuatu yang tidak sesuai dengan kategorisasinya. Contohnya adalah kebajikan di dalam skema kristiani seringkali diidentikkan dengan yang spiritual dan yang lelaki. Sementara keburukan berkenaan dengan perempuan dan yang material. Terlebih apa yang tidak tercakup dalam kategori hirarki oposisi-biner tersebut semisal lesbian dan homoseksual.

Selanjutnya apa yang didekonstruksi adalah segala kepercayaan, nilai, dan ide yang dikonstruksikan filsafat modern dan dijaga kesatuannya dalam skema konseptual hirarki oposisi-biner tersebut. Pertama, intervensi-dekonstr uksi diawali dengan mengidentifikasi konstruksi-konseptu al suatu bidang teoritis tertentu baik agama, etika, metafisika, atau pun teori politik yang menggunakan skema hirarki oposisi-biner.

Kedua, intervensi-dekonstr uksi menginvestigasi penataan hirarki oposisi-biner tersebut. Ketiga, intervensi-dekonstr uksi diteruskan dengan membalikkan atau menjungkirbalikkan tatanan hirarki oposisi-biner tersebut dengan cara menempatkan hirarki yang pada awalnya di bawah menuju ke atas. Karena menurut Derrida seringkali penataan hirarki oposisi-biner tersebut lebih sebagai cerminan pilihan-pilihan strategis dan seksis atau pun ideologis ketimbang suatu deskripsi sifat-sifat yang intrinsik.

Yang terakhir atau yang keempat, intervensi-dekonstr uksi kemudian memproduksi istilah ketiga untuk melampaui hirarki oposisi-biner tersebut. Hingga tidak dapat dikenali lagi dengan cara membongkar struktur yang menyangganya yang dijadikan dasar penataan hirarki oposisi-biner tersebut. Dua gerakan intervensi-dekonstr uksi yang pertama diikhtiarkan untuk menantang deskripsi konstruksi-konseptu al. Sementara itu dua gerakannya yang terakhir bertujuan untuk merusak bentuknya dan kemudian membentuknya kembali dengan muatan cara pandang yang baru dan kemudian mentransformasinya.

Ikhtiar Derrida tersebut diniatkan untuk membawa filsafat pada kemungkinan batas-batasnya sebagaimana yang telah dilakukan Socrates dan Nietzsche dengan tujuan untuk menghindari sikap dogmatik dalam pemikiran. Pada konteks inilah Derrida sering dijuluki Penelope modern, Nietzsche-Socrates kontemporer.

Dengan kerangka itu pulalah Derrida membongkar konseptualisasi pengampunan yang selama ini dipahami dan dimengerti. Ia melangkah ke depan dengan mengatakan bahwa pengampunan seharusnya dimengerti sebagai tugas mokal untuk mengampuni sesuatu yang tidak terampuni. Karena menurutnya tanpa mengampuni sesuatu yang tidak mungkin terampuni, maka tak akan ada pernah kosa kata pengampunan sama sekali. Sebab baginya pengampunan tidak dapat direduksi kepada batas legal dan moral yang manapun. Akan tetapi hanya mungkin diapresiasi ketika dan bagaimana hal itu muncul.

Dengan demikian Derrida menghindari kerangka teologiko-politik untuk membincang pengampunan yang diakuinya sangat berakar pada tradisi Abrahamik yang diwariskan dalam politik sekuler Barat. Derrida menganjurkan suatu refleksi yang ketat tentang konsep pengampunan sejauh menyangkut perujukan dan penggunaannya dalam konteks-konteks sejarah dan budaya yang konkret ketimbang sebagai entitas abstrak. Dengannya ia menamai ulang geo-politik pengampunan.

Lebih lanjut ia mengatakan ada dua jenis pengampunan. Pertama, pengampunan bersyarat yang syaratnya adalah dapat dikalkulasikannya hukuman. Yang kedua, pengampunan tanpa-syarat atau mengampuni hal yang tidak dapat diampuni. Pengampunan yang terakhir masuk dalam wilayah yang tak terukur dan tentu saja bersifat mokal. Yang datang dari ketakterdugaan atau pun keterkejutan yang menjungkirbalikkan garis perjalanan lazim yang ditempuh oleh sejarah, hukum, dan politik. Menurutnya tanpa pengalaman pengampunan tak bersyarat sesungguhnya tidak akan ada pengampunan sama sekali.

Langkah pertama intervensi-dekonstr uksi untuk membongkar konsep pengampunan ini diawali dengan membongkar akar ke-Abrahaman tersebut sejauh menyangkut dimengerti dan dipahaminya pengampunan dan kemungkinan silih gantinya. Yang kedua adalah membongkar dan menginvestigasi sejumlah pasangan hirarki oposisi-biner yang memungkinkan standar-standar pembentukan konseptualisasi dan pemahamannya seperti: terbatas-tak terbatas, transenden-immanen, kekal-temporal, yang dapat diperbaiki-yang tidak dapat diperbaiki, yang dapat ditebus-dan yang tidak dapat ditebus, yang mungkin-yang tidak mungkin.

Setelah memetakan pasangan hirarki oposisi-biner tersebut kemudian diteruskan dengan gerakannya yang ketiga: menunjukkan bahwa pasangan-pasangan tersebut disusun dan ditata secara hirarkis sesuai dengan motif dan semangat filsafat tradisional. Filsafat identitas atau filsafat subjek.

Dan hasilnya yang dipahami selama ini tentang konsep pengampunan diberikan secara terbatas pada kasus-kasus yang dapat ditebus atau kasus-kasus yang dapat diberikan silih gantinya. Dan yang dapat diperbaiki. Setelah mengetahui ini Derrida melangkah pada gerakan intervensi-dekonstr uksinya yang ketiga, yaitu dengan menyatakan bahwa aksioma ke-Abrahaman yang hanya mengampuni yang dapat diperbaiki dan dapat ditebus sungguh-sungguh didasarkan pada sebuah paradoks. Di satu sisi meniscayakan suatu pengampunan, tetapi di sisi lain mengandaikan silih ganti atau tebusan. Derrida kemudian menolak simetri pandangan tersebut. Karena mengampuni dalam pandangannya adalah mengampuni intensi jahat (siapa) dan tindakan jahat (apa) persis seperti apa adanya (jahat itu sendiri).

Derrida kemudian membedah dan membongkar kembali kategorisasi apa yang disebut pengampunan bersyarat dan pengampunan tanpa syarat. Yang pertama memang cocok dengan hukum dan politik. Akan tetapi menurutnya pengampunan jenis ini tereduksi dalam suatu terapi rekonsiliasi. Karena menurutnya ada suatu distingsi antara rekonsiliasi legal dan pengampunan. Dan mungkin saja ada korban yang tak dapat mengampuni meski setelah amnesti atau pun pembebasan. Pada konteks ini pengampunan merupakan teka-teki. Dengannya kita akan memahami dan menerima jenis pengampunan yang kedua, pengampunan tanpa-syarat. Pun Derrida mengekspose dan membongkar ketidakmemadainya konsep pengampunan yang selama ini dimengerti dalam geo-politik sekuler Barat yang didesakkan oleh warisan ke-Abrahamannya. Pengampunan bersyarat dalam pandangannya hanya cocok dalam tataran hukum dan politik sekuler saat ini yang seringkali jatuh pada negosiasi-negosiasi pragmatis dan pertukaran yang setara.

Argumen penalaran tersebut sebenarnya menawarkan suatu kemungkinan bagi penciptaan situasi kemanusiaan di masa yang akan datang (to come)


Melampaui Negara-Kebangsaan dan Kosmopolitanisme Politik

Perbincangan dan penalaran Derrida tersebut pada akhirnya adalah suatu ikhtiar untuk melampaui konsep negara-kebangsaan yang selama ini diterima, dipraktekkan, dan diapropriasi politik sekuler. Pun ketika ia membincang demokrasi, maka yang dimaksudkannya adalah demokrasi yang mungkin. Yang secara simultan selalu merujuk kepada kemasadepanan. Demokrasi yang akan datang.

Akan tetapi demokrasi dalam artian ini menurutnya bukannya suatu bentuk demokrasi yang suatu hari akan hadir. Juga bukan dalam artian ide regulatif dalam pengertian Kantian. Demokrasi bukanlah kategori rezim politik. Sebab bila dikatakan sebagai kategori rezim politik, demokrasi tidak lebih dari nama sebuah rezim. Karena menurutnya tetap terdapat sesuatu yang tidak mungkin dkarenakan aporia yang terkandung dalam kata demos, yang menurutnya merujuk pada pengertian keunikan setiap orang yang tak terkalkulasikan.

Demokrasi yang dimaksudkannya pada titik ini adalah membiarkan makhluk tunggal, di mana setiap orang hidup bersama tanpa harus ditentukan oleh kewargaan atau sebuah kondisi mereka sebagai subjek-subjek yang sah menurut hukum di dalam sebuah negara-kebangsaan.

Cita-cita demokrasi yang dimengerti Derrida terletak diluar kosmopolitanisme politik dan kewargaan negara-kebangsaan. Demokrasinya Derrida adalah suatu ikhtiar untuk melampaui kosmopolitanisme politik.


Di Perbatasan Filsafat

Dalam konteks ini Derrida masih tetap konsisten dengan komitmen filsafatnya untuk menyingkapkan batas-batas demarkasi pemikiran. Dengan menggunakan analogi geografi sekitar batas dan perbatasan dalam fungsinya yang ganda: merangkul yang satu sembari menyingkirkan yang lain. Ia pun menganjurkan perlunya untuk disisakan sebuah ruang yang ditempatkan di luar politik dan hukum. Untuk mengantisipasi ketakterdugaan atau apa yang datang tidak teramalkan. Sesuatu yang asing. Orang asing dan peziarah. Cita-cita demokrasi Derrida terletak dan melampaui kekuasan ekonomi, yuridis, dan politik. Dengan ikhtiarnya tersebut ia meniatkan untuk mendetotalisasikan totalitas-totalitas yang selama ini tertutup terhadapa suara “yang lain, the other”.

Ia pun memandang keadilan yang sesungguhnya berada di luar hukum dan politik. Sebab sebagaimana juga pengampunan, keadilan di tangan hukum direduksikan kepada ciri kesederhanaan hukum. Karena menurutnya hukum dan keadilan adalah dua dimensi yang berbeda. Yang pertama bersifat terbatas, relatif, dan didasarkan pada sejarah karena merupakan produk dinamika sosial-politik. Sementara yang kedua mentransen lingkaran negosiasi sosial dan pertimbangan politis. Karenanya tak terbatas dan absolut. Pada konteks ini ia mengembangkan tulisan Walter Benjamin menyangkut distingsi antara kekuatan membuat hukum dan kekuatan memelihara hukum. Yang pertama merujuk kepada pembentukan sistem legal. Sementara yang kedua bersesuaian dengan sifat dapat dilaksanakannya hukum. Ranah hukum mengandaikan ciri-ciri umum yang terkandung di dalam aturan, norma, dan hal-hal imperatif universal. Keadilan menyangkut pada individu dan situasi mereka.

Ia memandang kosmopolitanisme Kant masih mengandaikan bentuk kedaulatan negara. Ide dan semangat kosmopolitanisme sendiri menurutnya bukan semata-mata sumbangan Kant, tetapi juga dari Santo Paulus dalam suratnya kepada ummat di Ephesus. Dan dari kaum Stoa.

Atas pembacaan atas ide-ide Kant dan Arendt, Derrida menawarkan suatu demokrasi yang melampaui ide kosmopolitanisme Kant tentang konsep kewargaan dunia. Karena pada kenyataannya ada ragam territori yang tidak mungkin direduksikan. Melampaui aliansi politis. Yang dimaksud Derrida adalah mereka yang tidak memiliki status kewargaan entah disebabkan oleh sebentuk penolakan atau pun pelarian. Tentang para pengungsi dan orang asing. Suatu sikap penerimaan dan sapaan terhadap orang yang tak pernah diduga kedatangannya. Yang tak teramalkan. Hantu! Merujuk kepada kemasadepanan. Suatu penantian dan penungguan terhadap mereka yang sewaktu-waktu akan datang. Suatu sikap menunggu. Tetapi pada saat yang sama juga tidak menunggu. Suatu ziarah dan menyambut para peziarah. Seperti tawanya Sarah ketika Tuhan mengatakan bahwa ia akan memiliki anak di usianya yang renta.



Bab Kelima
Di Antara Keabadian dan Kefanaan: Burung-Burungnya Fariduddin Attar


Pembicaraanku tanpa kata, tanpa lidah, tanpa suara,
Perdengarkan nyanyi ratapmu yang timbul karena luka dan kepedihan cinta,
Dan kau pun melihat mata air nurani yang tercelup di lautan cahaya, sementara kau tinggal di sumur kegelapan dan penjara ketakpastian,
Kau terikat pada tubuh dunia ini, dan dari semesta dunia, kini dan nanti,
Bila kau telah mencapai kesempurnaan diri, kau pun tak akan ada lagi......(Fariduddin Attar).[18]

Pada suatu pengalaman dan pencaharian tertentu, moment religius adalah moment puitik. Dan seorang penyair mendapatkan keterbatasan sekaligus kekayaannya dalam kesunyian dan pengasingan. Ia menjadi peziarah spiritual untuk menualangi kefanaan-nya. Dan keabadiannya adalah sebentuk kerinduan pada ketiadaan (eskatologi) .

Bagaimana mengukur bulan dari ikan? Begitulah ribuan kepala bergerak kesana kemari dan hanya ratap dan keluh saja yang terdengar,

Tak adakah Daud yang malang tempat aku menyanyikan mazmur cinta penuh kerinduan?[19]
Antara kerinduan dan ketakberdayaan kemudian menjadi sebentuk rima dan nyanyian. Ikhtiar ini mendapatkan momentnya dalam sebuah upaya menyamarkan lewat lagu kerinduan. Pada konteks ini seorang penyair tengah berdusta untuk melawan mereka-mereka yang dengan mudah telah mampu melakukan penggenapan pada pengetahuan dan kebenaran. Dusta seorang penyair menjadi sebentuk kejujuran dan kerendahan hati untuk mengakui ketakberdayaannya sendiri di hadapan keabadian. Atau ia berusaha untuk menertawakan upaya menemukan keabadian tersebut. Karena kefanaannya jauh lebih nyata seperti halnya siang dan malam. Dan usaha untuk menertawai adalah juga ikhtiar untuk mendustai.

Tidaklah berlebihan bila Jalaluddin Rumi berkata tentang Fariduddin Attar: bila aku adalah raga, maka Attar adalah jiwa.[20] Bila raga yang fana rentan terkapar, maka jiwa yang abadi senantiasa berkelana. Dan petualangan seorang penyair dan mistikus menjadi sebentuk ziarah spiritual. Lalu iman? Mungkin sejenis keraguan dan skeptisisme yang meradang. Tapi justru dengan itu iman senantiasa mencari dan kritis. Iman menjadi sebentuk interupsi. Iman di hati para penyair-mistik menjadi ikhtiar pencarian dalam pergulatannya dengan realitas kefanaan.

Iman yang puitis ini kemudian terasa lebih lembut ketimbang imannya para fuqaha dan teolog. Menjadi sebentuk penghayatan personal seperti halnya Kierkegaard dan Al Hallaj. Iman seperti ini disulam dari rasa rindu dan kasih-sayang. Lahir dari kepekaan seorang penyair dan mistikus. Kadang-kadang iman puitis ini adalah ikhtiar untuk menertawai sekaligus mendustai ketakberdayaan di hadapan kefanaan. Lalu mencari ilusi keabadian. Menjelma iman eskatologis. Kesadarannya pada ketiadaan adalah upaya untuk menghibur sekaligus menghidupi realitas kefanaan.

Akan tetapi pada sisi yang lain, iman para penyair dan mistikus ini adalah sebentuk komitmen dan keintiman yang kuat pada hidup dan takdir-esksistensia l manusia itu sendiri. Ia meresapi bahwa nasib dan takdirnya juga dialami oleh semua manusia. Karena itu iman para penyair dan mistikus hanya mengenal kesalehan. Bukan iman yang dikumandangkan untuk membenarkan penghalalan darah manusia.

Ketika seorang penyair dan mistikus menyadari kefanaannya sendiri, ketika itu pulalah ia memaklumi kefanaan yang lainnya. Iman yang lembut dan puitis ini memanglah pertama-tama lahir dari kerendahan hati seorang mistikus dan penyair. Ia tak pernah tahu apakah dirinya saleh atau tidak. Yang ia tahu bahwa dirinya kelak tiada: bila kau telah mencapai kesempurnaan diri, kau tak akan ada lagi.

Iman para mistikus dan penyair menjadi permenungan dalam pergulatannya dengan realitas kefanaan. Sebentuk teodisi dan ikthtiar untuk menemukan illuminasi. Iman seperti inilah yang akan menumbuhkan sikap toleransi. Iman yang yang menegur diri sendiri. Menginvestigasi kerentanan subjek.

Imannya Fariduddin Attar yang mencari dan berziarah adalah metafor burung-burungnya yang bermusyawarah. Berdialog. Tapi di saat yang sama juga terbang berpetualang mencari musim. Berkelana dalam kefanaan. Dalam ikhtiar untuk menertawai ilusi keabadian. Sebentuk kerinduan pada ketiadaan.

Iman pada konteks ini adalah iman memiliki komitmen pada kefanaan itu sendiri sebagai realitas kehidupan manusia. Iman yang mengabdi pada sejarah sekaligus iman yang berikhtiar untuk memperbaiki sejarah. Iman yang memiliki tanggungjawab pada sejarah. Sekaligus yang mencari kemungkinan- kemungkinan bagi sejarah dan masa depan. Iman yang berikhtiar untuk menemukan masa depan dalam kubangan kefanaan. Sebentuk iman yang berdialog dan bermusyawarah. Seperti The Confrence of the Birds-nya Fariduddin Attar.


Bab Keenam
Iman Pencarian Sebagai Interupsi dan Investigasi: Membaca Kembali Eulogy-nya Si Pengchotbah

Segala perkataan tak mencukupi, tak seorang jua pun sanggup untuk mengatakannya,
Dengan tiada sangguplah manusia untuk menyelami dari permulaan sampai penghabisan,
Begitu juga pengertian akan keabadian dalam hati mereka,
Sebab samalah nasib manusia dan binatang, berakhir pada kematian,
Karena itu lebih baik anjing yang hidup daripada singa yang mati,
Maka minumlah anggurmu dengan sukahati. (Si Pengchotbah).[21]

Mungkin iman yang sesungguhnya adalah iman yang sadar dengan ketidaktahuan. Lalu Si Pengchotbah pun melanjutkan: dari yang lampau tak ada peringatan, dan dari yang kemudian pun tak ada peringatan.[22] Si Pengchotbah adalah subjek yang sadar dengan kedhaifannya untuk merengkuh apa yang disebut hakikat. Si Pengchotbah pun melanjutkan: dan apa yang kurang tak dapat dibilang.[23] Karena Si Pengchotbah sadar bahwa ikhtiar pencarian ini pun bermuara pada enigma: dan barangsiapa menambah pengetahuan, ia pun hanya menambah duka. Sebab itulah Si Pengchotbah bermuram:

Kubangun rumah-rumah dan kutanam segala pohon dan buah-buah,
Orang bijak mempunyai mata di kepalanya dan kedunguan berjalan dalam kegelapan,
Tapi apa gunanya aku menjadi bijak? Sebab nasib si dungu pun menimpaku juga![24]

Terkadang pesimisme memang lebih mampu mengungkapkan kerentanan subjek sekaligus kedalamannya ketimbang optimisme yang banal yang justru abai pada sisi yang lain dari kehidupan. Menurutku Si Pengchotbah adalah sebentuk teguran atas iman yang menafikan pengetahuan dan kepekaan. Sebab manusia senantiasa terjebak di antara ketakterbatasan dan keterbatasan.


Di Antara Ketakterbatasan dan Keterbatasan

Pada konteks ini Kierkegaard menulis: kehidupan manusia adalah sebentuk sintesis antara ketakterbatasan dan keterbatasan, di antara kefanaan dan keabadian, di antara kebebasan dan keharusan.[25] Kesadaran akan kenyataan ini mungkin bisa menjadi wawasan yang lebih toleran pada diri sendiri atau pada orang lain sejauh menyangkut pandangan religius atau keimanan seseorang. Pada konteks ini mungkin seseorang akan senantiasa menyadari bahwa dirinya terus-menerus berada dalam kerentanan dan keterbatasan untuk merengkuh kebenaran hakikat. Sebab keimanan dan sikap religius pada dasarnya adalah mungkin sebentuk keragu-raguan itu sendiri. Tapi justru dengan itu iman terus mencari dan berziarah.


Lampiran
Puisi-puisi Sulaiman Djaya
Kebanyakan dari puisi-puisi yang saya lampirkan ini pernah dipublikasikan Media Indonesia pada 27 November 2005 dan 28 Mei 2006. Kecuali puisi yang berjudul: Surat Cinta Untuk Renata, puisi ini belum dipbulikasikan lewat media apa-pun.

Puisi Pertama:
Surat Cinta Untuk Renata

1
Senja itu pualam Renata
Bagai peziarah yang kelelahan,
Dan aku ingin mencintaimu
Dengan sunyi yang kau sebut embun
Dan aku ingin mencintaimu dengan sepi
Yang kau sebut puisi.

Esok atau nanti
Ketika aku tak ada lagi
Surat cinta ini akan abadi
Dan kau pun menjadi biru lazuardi
Di langit pagi.

2
Sungai itu lirih Renata
Warna-warna mengagumi dirinya
Dalam kejernihannya,
Seperti itulah aku ingin mencintaimu
Seperti waktu yang menggambar rautmu.

Pada ujung sanggurdi
Yang tak lagi kau kenali
Di situlah kelak kau menanti
Pada sebuah tepi
Yang kau sebut puisi.

3
Di antara putih dan lembayung
Kan kau tulis namaku
Di antara yang fana dan yang baka
Yang kau sebut surga dan neraka,
Di situlah puisi menemui ajalnya
Seperti halnya kata.

Di antara semak
Dan belukar remaja
Kan kau temukan kata
Yang kau sebut tiada.

4
Di antara tebing dan lumut
Yang kau sebut mazmur
Kata-kata menjadi batu
Yang kau sebut rindu.

Seperti itulah aku ingin mencintaimu
Seperti cadas matamu
Yang kelu itu.

5
Ketika itu kau tak lagi takut
Yang kau sebut maut,
Seperti itulah ingin kutulis mazmur
Dan putih kembang randu
Yang akan menjadi milikmu.

Seperti itulah ingin kutulis rindu
Se-asing hantu.

6
Pada luka bulan
Atau bagai sirip ikan
Yang perak itu
Kan kau tulis namaku
Seindah ketelanjangan.

Dan bila aku tiada
Waktu pun tetap ada.

7
Seperti itulah aku ingin mencintaimu Renata
Tanpa kata-kata
Yang kau sebut surga dan neraka.

Seperti surat cinta
Yang kehilangan kekasihnya.

2007


Puisi Kedua:
Perjalanan Menuju Kemah-Mu

Seperti Hosea yang dienyahkan kaumnya
Aku mulai perjalanan ini,
Seperti Jonah yang melarikan diri
Dari bangsanya yang gandrung perjamuan
Aku mencari perjumpaan yang hilang,
Dibingungkan bukit-bukit
Dan luasnya padang
Di setiap negeri yang kulalui.

Kapan aku disambut
Sewaktu aku disesatkan musim
Dan negeri-negeri ini.

Dalam setiap rehat
Kusematkan madah dan mazmur
Pada ingatan untuk lusa
Dan hari ketika aku akan menjumpamu.

Perjalanan menuju kemah-Mu
Dihadang para perampok yang mengaku dirinya kuasa hari
Dikutuki lelah dan gulita malam.

Setangkai bungan Henna dalam wadahku telah kering
Lalu aku cari penggantinya,
Tetapi musim semi telah berganti kemarau
Tak kudapatkan bunga yang kucari.

Lebih baik kucari genangan air
Yang biasanya terletak di bawah pohon Tuffah,
Pada perbukitan
Agar aku lama mengaso
Dan menuliskan mazmur untukmu
Sebagai pengganti bunga.
(Diambil dari Tifa Media Indonesia, 27 November 2005)


Puisi Ketiga:
Pertanyaan Untuk Eskatologi-Mu

Di setiap kelokan waktu
Aku disesatkan persimpangannya.

Benarkah ada hari akhir?

Benarkah Kau mencipta surga dan neraka?

Aku tak ingin hidup lagi
Walau Kau beri aku surga
Aku sudah kecewa.

Menjadi tiada
Lebih baik ketimbang surga.

(Diambil dari Tifa Media Indonesia, 27 November 2005)


Puisi Keempat:
Agony dan Doa

Kita berada di lorong-lorong
Dan urat nadi pohon Sengon

Burung-burung Gereja
Dan Gelatik muda
Bersenda di ranting mega
Sembari mematuk senja

Kita berada di pematang langit
Dan gemerisik hutan bukit
Ayam-ayam jantan
Mengumandangkan suara adzan
Dan adik menjerit
Menagih air tetekan

Kita dinaungi sutra Agung
Sayap burung luka sebelah
Hatimu bingung
Menggulung sajadah

Kita berjalan di punggung angkasa
Di hutan, doamu meraba-raba
Hingga pernah suatu malam
Membeku dalam ruku
Rupanya Tuhan sembunyi di rindang lalang
Ketika siang di belukar waru

Anak-anak malam
Meminjam ladang sebagai panggung
Senja yang mesum
Merindu perawan

Ketiadaan meminjam sungai sebagai wajahnya
Melalui tanah meresap ke jiwa
Kegelapan menjadi cinta yang menina
Dan menunda

Sembahyang menjadi belukar
Tempat Kelinci bersembunyi

Sepasukan serangga melubangi langit
Dengan moncong mereka
Kelak menjadi pintu-pintu
Bagi doaku

Di tanah akar
Imanku tersekap
Dikerumuni cacing
Yang melahap neraka

Moncong bayi menghisap darah Tuhan
Dari puting susu
Sebelum memahatnya
Di batu-batu

Setiap perlambang berguguran
Seperti biji padi
Dilempar tangan badai bertubi
Memporandakan jagat kesalehan

Ibadahku menjadi perahu kertas
Tegak sebentar, tak berbalas
Dimangsa ganas
Gamang yang deras

Rupanya iman serupa deras
Siap diterkam nganga jurang
Tersesat dan kebingungan
Menjadi korban

Iman dan diriku sudah lama berteman
Tapi entah di mana aku berjumpa
Ia asing bagiku dan aku untuknya
Mungin saja kami musuh lama
Di seantero agama

Serangga rawa yang mematuki air
Serupa tanah jajahan bagi peziarah
Kembali diasingkan dan gundah
Bagai genangan dan uir-uir
Dan bening yang kemilauan
Laksana fatamorgana
Lengang jiwa

Bagi penyair, lara adalah doa
Sebelum kematian kunjung segera

(Diambil dari Tifa Media Indonesia, 28 Mei 2006)


Puisi Kelima:
Agony dan Dosa

Rindu meradang
Menyayat bulan
Luka dahan dan belalang
Daun roman, cinta urakan
Tersaruk batu dan sedeku
Di sayap kupu-kupu

Canda di dipan bambu
Lagu-lagu dan sepisau mangu
Terbakar di tungku

Cakrawala membentang
Senja terapit di ketiak Elang
Antara lirik dan dendam
Tak pernah merasa kurang.

(Diambil dari Tifa Media Indonesia, 28 Mei 2006)

Terimakasih,
Sulaiman Djaya /085695787182
[1] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Yogyakarta 2003:14
[2] Ibid, h.14
[3] Ibid, h.14
[4] Ibid, h.12
[5] Ibid, h.10
[6] Giovanna Borradori, Philosophy In A Time of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas Maret 2005. h. 230-233 dan h. 154-5
[7] Sumber: 1. Jacques Derrida, Acts Of Religion, Routledge 2002. pp. 104-133, 2. Ian Almond, The Honesty of Perplexed: Derrida and Ibn Araby On Bewilderment dalam Journal of the American Academy of Religion September 2002 Vol.70 No.3, pp. 515-537, 3. Al Kitab Perjanjian Lama, 4. Al Qur’an
[8] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Terawang Press 2003:14
[9] Donald D. Palmer, Kierkegaard For Beginners, terj. Kanisius 2001, h.26
[10] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Jogjakarta 2003, h.9
[11] Ibid, h. 14
[12] Ian Almond, The Honesty of Perplexed: Derrida and Ibn Araby On Bewilderment dalam Journal of the American Academy of Religion September 2002 Vol.70 No.3, pp. 515
[13] Friedrich Nietzsche, Human, All Too Human, transl. R. J. Hollingdale, Cambridge University Press 2002, pp. 16
[14] Martin McQuillan, The Deconstruction of Actuality: An Interview With Jacques Derrida dalam Deconstruction, A Reader, Edinburgh University Press 2000, pp.534
[15] Ibid, pp.533
[16] Donald D. Palmer, Kierkegaard For Beginners, terj. Kanisius 2001:52-3
[17] Sumber: 1. Jacques Derrida, Hostipitality dalam Acts Of Religion, translated and introduced by Gil Anidjar, Routledge 2002, pp.359-420, 2.Giovanna Borradori, Philosphy In A Time Of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas Maret 2005, 3.Geoffrey Bennington, Forever Friends dalam Interupting Derrida, Routledge 2002, pp.110-127, 4.Al Kitab Perjanjian Lama, 5.Al Qur’an
[18] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Jogjakarta 2003:16-19
[19] Ibid, h.27
[20] Ibid, h.vii
[21] Kitab-Kitab Kebijaksanaan, Nusa Indah Flores 1960, h.192-212
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Soren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, transl. Alastair Hannay, Penguin Books 1989:43

Thursday, September 6, 2007

Mengurai Benang Kusut Hubungan Agama dan Negara

Oleh: Sukron Hadi

Anggota Jaringan Islam Kampus (JARIK). Mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta. Bergiat di Forum Mahasiswa Ciputat)

Berhembusnya gagasan sekularisme, sebagai konsekuensi dari semangat Modernitas dunia Barat, ke dalam diskursus keislaman, telah menyita perhatian para intelektual Muslim. Silang pendapat di antara mereka yang pro dan kontra menambah daftra panjang perdebatan sekularisme di dunia Islam. Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan salah seorang pemikir Arab kontemporer yang merasa perlu terlibat dalam alotnya diskursus ini.

Dengan gagasannya yang bernas, Al-Jabiri dalam bukunya Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, 2001 berusaha meluruskan pandangan-pandangan para intelektual Muslim perihal hubungan agama dan negara melalui telaah yang cermat terhadap al-Qur’an dan sejarah Islam. Menurut Al-Jabiri konsekuensi dari sekularisme yang ada di Eropa adalah pemisahan antara lembaga agama dan negara dengan membatasi wewenangnya masing-masing. Hal ini dirasa perlu oleh masyarakat Barat agar dalam menjalankankan peran dan fungsinya, agama dan negara tidak berbenturan satu sama lain.

Begitu pula dalam masyarakat Islam, agama sudah sepatutnya hanya menjadi masalah setiap individu. Sehingga, hubungan antara individu dengan Tuhannya terjadi secara langsung tanpa perantara lembaga dalam bentuk apapun. Karena itulah agama harus tetap dipisahkan dari hiruk-pikuk politik. Dalam pengertian bagaimana menghindari fungsionalisasi agama untuk tujuan-tujuan politik. Sebab, agama adalah mutlak dan permanen, sementara politik bersifat relatif dan selalu berubah. Politik digerakkan oleh kepentingan individu dan kelompok, sementara agama harus dibersihkan dari hal-hal seperti itu. Jika tidak, agama akan kehilangan substansi dan ruhnya. Kekhilafahan: Wujud Kekosongan Perundang-undangan
Sistem politik seperti apakah yang dapat dikategorikan sebagai islami dan sesuai dengan kondisi zaman kita? Apakah sistem politik yang islami tersebut mampu menjawab berbagai kebutuhan dan arah perkembangan sejarah?

Itulah pertanyaan mendasar yang harus dijawab secara jujur dan meyakinkan oleh umat Islam. Bagaimanapun juga, tidak ada satupun teks al-Qur’an dan Sunnah yang mengatur masalah pemerintahan. Pun Nabi Muhammad wafat dengan tidak menentukan siapa yang akan menggantikannya. Tidak pula beliau menjelaskan bagaimana cara penunujukan serta pembatasan wewenang dan masa jabatannya. Mengutip hadis Nabi: “kamu lebih tahu tentang urusan duniamu”. Untuk itulah Al-Jabiri berkesimpulan bahwa masalah ini diserahkan pada nalar dan ijtihad.

Pengalaman historis umat Islam yang terpenting dalam masalah pemerintahan adalah peristiwa politik yang menandai perubahan dari sistem khilafah menjadi kerajaan pada masa ahir kekhilafahan Utsman. Jika dicermati, pada dasarnya perubahan ini disebabkan oleh kekosongan perundang-undangan dalam sistem pemerintahan khilifah. Kekosongan inilah yang disingkap dengan jelas dan lugas oleh al-Jabiri. Menurut dia, pada sistem khilafah, terdapat tiga kekosongan utama. Pertama, tidak adanya penentuan metode tertentu yang diundangkan dalam memilih seorang khalifah. Kedua, tidak adanya batasan bagi masa jabatan khalifah. Ketiga, tidak adanya pembatasan wewenang khalifah. Karena tiga kekosongan ini, kemudian pecah kekacauan besar (al-fintnah al-kubro) dalam sejarah umat Islam, yang terjadi antara pengikut Ali dan Muawiyyah. Dari kekacauan besar yang diakibatkan tata kelola kekhilafahan, yang sejatinya merupakan bentuk pemerintahan yang lemah itu, berakibat pada beralihnya sistem kekhilafahan menjadi kerajaan.

Belajar dari lemahnya sistem khilafah islamiyah tersebut, Al-Jabiri merumuskan prinsip-prinsip “etika Islam” (al-khuluqiyah al-islamiyah) dalam pemerintahan, sebagai upaya untuk mengatasi tiga kekosongan tadi. Rumusan itu berupa etika yang selalu mengilhami pemikiran bebas dan membangkitkan harapan bagi perbaikan dan perubahan. Apakah itu? Pertama, mengadopsi unsur-unsur dasar etika Islam: musyawarah. Penentuan metode pelaksanaan musyawarah diejawantahkan melalui pemilu yang bebas dan demokratis, serta pembatasan wewenang dan masa jabatan kepala negara. Kedua, tanggung jawab dan pembagiannya dalam masyarakat. Yakni, pemerintahan yang dapat menjaga amanat dan memegang tanggung jawab sepenuhnya terhadap nasib seluruh masyarakat dari lapisan atas hingga paling bawah. Ketiga, sabda Nabi: “Kamu lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”.

Ketiga unsur tersebut membentuk etika Islam dalam politik dan pemerintahan sekaligus masalah-masalah dunia lainnya yang tidak dijelaskan langsung dalam teks kitab suci. Selain itu, menurut Al-Jabiri, tidak ada satupun yang dapat menjustifikasi penolakan sebagian gerakan politik Islam terhadap sistem demokrasi modern. Sebab, dalam Islam, bentuk negara berkembang sesuai dengan masing-masing kondisi ruang dan waktu.
Penerapan Syari’at Islam
Kelompok-kelompok Islam fundamentalis di Indonesia begitu semangat mengkampanyekan penerapan syari’at Islam di negara kita. Kendati di beberapa daerah berhasil diterapkan, dengan pelbagai kontroversi yang mengiringinya, tetapi dalam tingkat negara tidak akan pernah terealisir. Hal ini dikarenakan berbenturan dengan cara pandang masyarakat yang berlatar belakang perbedaan etnis, agama dan budaya.

Para ahli ushul fiqh, yang termasuk di dalamnya asy-Syatibi, berpandangan bahwa syari’at sebenarnya dibuat untuk kemaslahatan manusia di dunia dan ahirat. Tujuan-tujuan syari’at tersebut tidak lebih dari tiga jenis, yaitu kemaslahatan elementer (dharuriyat), komplementer (hajjiyyat), dan suplementer (tahsiniyyat). Kemaslahatan elementer adalah yang utama yang menjadi pendasaran bagi yang komplementer dan suplementer.

Kemaslahatan elementer mereka batasi dengan lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lima hal ini disimpulkan secara induktif, bukan dari agama Islam saja, melainkan juga dengan melihat kepada realitas dan adat-istiadat dari berbagai agama dan syari’atnya. Menurut Al-Jabiri kemaslahatan elementer manusia pada saat ini hendajnya tidak terbatas pada pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, melainkan mencakup selain yang lima ini. Hal-hal lain yang harus dimasukan adalah hak bagi kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan afiliasi politik; hak memilih para penguasa dan mengganti mereka; hak mendapatkan pekerjaan, sandang, pangan dan papan; dan hak pendidikan dan pengobatan.

Persatuan bangsa dalam suatu negara, menurut Al-Jabiri, termasuk juga bagian dari kemaslahatan elementer (dharuriyat) bagi eksistensi nasionalisme warga negara. Jadi, jika syari’at Islam diberlakukan di Indonesia, dengan latar belakang warga negaranya yang tidak hanya memeluk agama Islam, serta konteks sosial dan budaya yang jauh berbeda dengan masa awal berdirinya khilafah islamiyah atau negara Islam pada masa sahabat dan tabi’in, maka syari’at Islam akan melenceng dari tujuan dasarnya, untuk kemaslahatan persatuan bangsa. Maka, pada hematnya, demi kemaslahatan bersama dan keutuhan bangsa ini, syari’at Islam tidak boleh dilegal-formalkan.

Value Pluralism: Upaya Mengoreksi Konsep Liberalisme

Oleh: Tantowi Anwari*

Dalam sejarah umat manusia terdapat tiga laku pemikiran untuk menyikapi konflik yang ditimbulkan oleh ketegangan antara kemajemukan, baik nilai, ide, budaya, agama, ras atau etnis dan sebagainya, dengan incommensurability, ke-tidak-dapat-dibandingkan atas keunikan masing-masing komunitas dan individu.

Pertama, subjectivist yang berasumsi bahwa karena setiap orang adalah unik, tak dapat disebandingkan atau ditakar dalam wadah yang tunggal, maka siapapun, sebagai subjek, berhak atas putusan hidupnya sendiri. Model macam ini cenderung tidak rasional lantaran membenarkan alasan apapun yang lahir dari batok kepala siapa saja tanpa ada batasan tertentu. Hal ini akan berujung pada relativisme, bahkan anarkisme. Artinya, konflik bukan malah diredam justru dipupuk menjadi sebuah keniscayaan yang terus membuncah.

Kedua, particularist mencoba menyiasati konflik dalam karut-marut nilai dengan merujuk pada konteks yang berakar pada situasi-situasi konkret yang kemudian menggerakkan rasioanalitas buat memilah satu putusan nilai atau norma partikular. Tetapi, persoalan timbul manakala nilai tertentu yang dipercaya dapat merajut hari esok yang lebih baik, serta-merta dianggap sebagai jawaban paling sahih di antara nilai-nilai lainnya yang berasal dari luar ataupun datang belakangan. Karena itu amalan seperti ini terjebak dalam tradisionalisme dan konservatisme. Sebab ia mungkin saja sanggup mengatasi konflik dan perbedaan di antara anggota dalam komunitasnya sendiri, tetapi kekukuhan dan fanatisme terhadap satu atau seperangkat nilai tertentu akan berimplikasi pada sikap tertutup dan intoleran terhadap nilai-nilai lainnya yang juga sangat mungkin memuat kebaikan dan kebenaran dalam sisi yang berbeda, bahkan lebih baru dan segar. Pergesekan antar-komunitas, budaya atau peradaban yang berbeda tak dapat terhindarkan.

Berikutnya, universalist, berupaya mengharmonisasikan pelbagai nilai yang berserak, saling bersebrangan ataupun berhadap-hadapan, ke dalam satu atau seperangkat nilai yang lebih unggul dan luhur, the ultimate value. Segenap nilai yang ada di tengah masyarakat atau dunia ini diseragamkan pada nilai atau tujuan tunggal yang bersifat universal, yang melampaui ruang dan zaman. Artinya, ia menegasi semesta perbedaan dan keunikan nilai, yang masing-masing menginternalisasi dalam setiap benak manusia, dengan meringkusnya pada satu nilai.Seluruh cacad yang melekat pada ketiga laku pemikiran di atas, yang mengerucut dalam jerat relativisme (akut) dan monisme, diantisipasi oleh Isaiah Berlin, filosof dan sejarawan pemikiran kelahiran Latvia, dengan gagasan value pluralism.

Gagasan ini, yang mengutuk relativisme, lantaran rentan memicu anarkisme nilai, dan monisme sebagai bibit dari otoritarianisme politik yang mengeras dalam totalitarianisme abad ke-20 yang menyebabkan bencana kemanusiaan paling mengerikan, harus dikemas lagi dengan wajah yang lebih mutakhir. Sehingga, value pluralism memberi pijakan terhadap konsep liberalisme yang sanggup melindungi sekaligus menjamin hak-hak dan kebebasan sipil, tanpa melahirkan bentuk-bentuk tekanan dan penindasan baru terhadap kebebasan lainnya – sebagaimana, menurut Berlin, kronis menjangkiti konsep liberalisme klasik, yang alih-alih merayakan kebebasan, hak dan kebebasan kalangan minoritas atau disadvantage, yang tidak diuntungkan oleh sistem ekonomi-politik yang ada, malah terenggut.

Untuk itu, kemasan baru value pluralism merekomendasikan sebuah tatanan yang dapat menjamin dan melindungi hak dan kebebasan warga dengan mendorong keserbaragaman nilai dan tujuan yang bertabur di tengah kehidupan manusia, seraya menepis upaya penyeragaman (monisme) serta laku politik yang didasarkan pada anggapan-anggapan sempit dan fanatik. Semua ini mutlak dibarengi dengan menampik setiap pendasaran tanpa batas (realtivisme) yang terlampau berlebih: posmodernisme. Namun begitu, tatanan tersebut menyaratkan suatu tindakan yang tetap mengakomodir pelbagai kebaikan (nilai) yang masuk akal, yang sempat tertahan dalam proses pengambilan keputusan bersama melalui mekanisme yang demokratis. Demikianlah suguhan cergas George Crowder, dosen senior Teori Politik di Flinders University, Adelaide, Australia, yang pernah mengajar di Amerika, Inggris dan Eropa Timur, dalam bukunya Liberalism and Value Pluralism.

* Penulis adalah peneliti Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), alumni Pondok Pesantren Maslakul Huda, PMH Putra, Kajen, Pati